kikoo,, mpuss maniss

kikoo,, mpuss maniss
unyuuu bgt

Jumat, 06 Mei 2011

DAMPAK PEMBANGUNAN VILA DI HULU DAS TERHADAP PENURUNAN KUALITAS SUMBER DAYA AIR


Summarized by Nur Rizky Rahmatia (Mayor Resources and Enviromental Economics, Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural University (IPB))
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat modern serta tradisional yang dapat dinikmati dengan cara berbeda. Pariwisata merupakan salah satu sektor usaha yang dapat mendatangkan keuntungan bagi banyak pihak. Demi mendapatkan lokasi strategis untuk berlibur. Lokasi hulu sungai dengan lingkungan yang asri dianggap menjadi pilihan yang tepat. Daerah hulu dengan udara yang sejuk dan pemandangan pegunungan menjadi lokasi yang dipilih untuk melepas kepenatan. Ditambah lagi pada awalnya masih banyak lahan yang kosong dan tidak produktif sehingga banyak pihak yang melihat lokasi ini menjadi peluang bisnis.
Kemajuan pembangunan sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Pada saat yang bersamaan menurunkan kualitas lingkungan di daerah tersebut. Pengalihfungsian lahan yang awalnya berguna untuk daerah resapan air, pertanian, dan perkebunan diubah menjadi pemukiman elit dan vila-vila untuk disewakan. Pembangunan vila membuka peluang dunia kerja bagi penduduk di sekitarnya. Hal ini disambut positif oleh penduduk oleh karena itu tidak sedikit masyarakat tidak keberatan dengan pembangunan perumahan atau vila di daerah hulu sungai.
Pembangunan vila di daerah DAS dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu dampak negatif pembangunan vila adalah penurunan kualitas air.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana dampak pembangunan vila di daerah DAS?
1.2.2 Bagaimana dampak terhadap penurunan kualitas air?
1.2.3 Apa solusi dari dampak pembangunan vila di daerah DAS terhadap sumber daya air?

1.3 Tujuan

Penyusunan tulisan ini bertujuan:
  1. Mengetahui permasalahan-permasalahan dampak pembangunan vila di daerah DAS terhadap penurunan kualitas air
  2. Memberikan saran pemecahan masalah secara ilmiah dan holistik, sehingga dapat membantu perbaikan kondisi lingkungan.
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Vila di Daerah DAS

Sekarang ini jika kita mau  pergi ke Bandung dan melewati kawasan Puncak, mungkin kita tidak lagi melihat rindangnya pepohonan. Tidak lagi melihat perkebunan atau persawahan. Yang lebih sering kita lihat adalah perumahan-perumahan atau vila  yang dijadikan penginapan. Vila dan perumahan tersebut kebanyakan dibangun di daerah resapan air. Makin banyak pembangunan didaerah resapan air, makin banyak permukaan tanah yang tertutup oleh jalan, dan beton. Laju resapan air pun menurun. Ini berarti, pembangunan tersebut telah menyalahi kesepakatan tata ruang yang ada. (MenLH 2001).
Menurut sumber, pembangunan vila dan perumahan di kawasan Puncak sudah melebihi aturan yang ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung 19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999). Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. (MenLH 2001).
Pembangunan vila dan perumahan ini biasanya diikuti oleh perubahan penggunaan lahan di DAS yang cukup tinggi. Contohnya peningkatan lahan budidaya. Lahan budidaya yang awalnya 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000). Adanya peningkatan lahan di DAS ini bisa memperbanyak adanya lahan kritis. (MenLH 2001)
Sampai tahun 1999 ada tiga kabupaten yang memiliki luas lahan kritis terbesar, yaitu : Kabupaten Bandung seluas 36.698 ha, Cianjur seluas 44.084 ha, dan Garut seluas 33.945 ha. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000 ha dan lebih dari 9000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu. (MenLH 2001)
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. Selain itu pihak Rencana Tata Ruang dan wilayah juga harus bisa mengendalikan perencanaan regional yang selama ini tidak bisa dikendalikan dan menyebabkan kesenjangan antara wilayah Jawa Barat dengan wilayah lain. (MenLH 2001)

2.2. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Novran 2009).
Daerah aliran sungai merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia (human systems). Setiap sistem dan sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi. Dalam proses ini peranan tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas ekosistem DAS. Tiap-tiap komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem).  Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. (Novran 2009).

2.3. Hidrologi dan Sumberdaya Air

Dalam membicarakan ruang lingkup sumberdaya air yang pada dasarnya membahas hidrologi, akan lebih mudah bila penjelasannya dikaitkan dengan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang digunakan sebagai wilayah maupun satuan analisisnya. Dalam sistem DAS biasanya digambarkan hubungan antara hujan sebagai masukan dan aliran sebagai keluarannya dalam suatu sistem sebagai berikut. Keluaran yang dihasilkan dalam sistem tersebut tidak terbatas pada aliran, tetapi dapat juga merupakan zat kimia yang terbawa aliran dan atau sedimen yang terbawa aliran yang bersangkutan. (Appelo 1986)
Hubungan tersebut umumnya berlangsung dalam penelitian sumberdaya air pada suatu DAS, atau yang dikenal dengan pendekatan kotak hitam (black box). Air di muka bumi mengalami peredaran (siklus) yang sering disebut dengan siklus hidrologi atau daur hidrologi. Siklus hidrologi dapat dicerminkan dalam bentuk yang sederhana maupun yang rumit, lengkap dengan proses-proses berlangsung di dalamnya. (Appelo 1986)
Dalam penanganan suatu kegiatan yang melibatkan hidrologi, hendaknya disesuaikan dengan tujuan dari kegiatan tersebut. Oleh sebab itu parameter hidrologi yang diperlukan dalam suatu kegiatan harus disesuaikan. Dalam kajian siklus hidrologi dapat dibedakan antara cara perhitungan dan ruangan atau batas wilayah yang dipelajari dalam memperkirakan neraca air. (Appelo 1986)

2.4.  Kualitas Air

Pengertian tentang kualitas air (mutu air) sangat penting, karena merupakan dasar dan pedoman unruk mancapai tujuan pengelolaan air sesuai dengan peruntukkannya. Studi dan pembahasan tentang air pada dasarnya menyangkut tentang dua hal, yaitu kuantitas dan kualitasnya. Hal ini penting unruk menentukan permasalahan berada di mana, dalam lingkungan apa, kualitas air yang bagaimana, sehingga dapat dengan tepat menentukan strategi pengelolaannya. Perlu keyakinan variabel mana yang keadaannya sangat mendesak untuk penanganan dan mana yang sudah baik untuk dapat dipertahankan. Untuk keperluan tersebut perlu adanya suatu baku mutu air, yakni keadaan ideal yang ingin dicapai, keadaan maksimum yang boleh ditoleransi sesuai dengan peruntukannya. Kualitas air dapat diartikan sebagai kondisi kualitatif yang dicerminkan oleh kategori, parameter: organik, anorganik, fisik, biologik, radiologik dalam hubungannyna dengan kehiduan.
Salah satu dampak pembangunan adalah perubahan kondisi badan dan mutu air di dalamnya, baik pada badan perairan dekat proyek pembangunan maupun yang ada di sekitarnya, pada permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Sebaliknya kondisi perairan dan mutu aimya dapat mempengaruhi proyek pengairan. Perubahan mutu air dapat disebabkan oleh pencemaran, baik pencemaran fisik, kimia, maupun biologik. (MenLH 2001)
Dampak pencemaran itu bila tidak dicegah atau ditanggulangi akan merugikan kehidupan manusia sendiri, baik terhadap kesehatan maupun sosial ekonominya. Pencemaran tidak selalu berasal dari satu sumber, tetapi dapat dari kegiatan-kegiatan dalam daerah (DAS) tersebut. Berkaitan dengan masalah kualitas air. (MenLH 2001)
Kriteria mutu air diterapkan untuk menentukan kebijaksanaan perlindungan sumberdaya air dalam jangka panjang, sedangkan baku mutu air limbah (effuent standard) dipergunakan untuk perencanaan, perizinan dan pengawasan mutu air limbah dari berbagai sektor seperti pertambangan dan lain-lain. Kriteria kualitas sumber air di Indonesia ditetapkan berdasarkan pemanfaatan sumber-sumber air tersebut dan mutu yang disyaratkan. Baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan karakteristik suatu sumber air penampung buangan tersebut dan pemanfaatannya. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan suatu pengelolaan dan penanganan air yaitu mendapatkan air yang terjamin kualitas kesehatannya, mendapatkan air yang bebas dari kekeruhan, warna dan bau,  menyediakan produk air yang sehat dan menjaga kebutuhan air konsumen (MenLH 2001)
Berdasarkan pemanfaatan dan hubungan dengan kriteria air, di Indonesia ada empat golongan kelas (MenLH  2001)
  • Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
  • Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, petemakan, air untuk mengairi pertanaman. dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
  • Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
  • Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.




BAB III
METODOLOGI

3.1.  Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah studi pustaka, yaitu melakukan studi literatur mengenai dampak pembangunan villa di daerah hulu DAS terhadap berkurangnya kualitas air  dan pendalaman materi kelas.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan IPB dengan mencari data sekunder dari studi literature dan internet. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Maret 2011 sampai 8 Maret 2011.

3.3, Jenis Data

Jenis data yang akan dikumpulkan dalam makalah ini adalah data sekunder. Data yang didapatkan dari studi literatur dan internet mengenai dampak pembangunan vila di daerah hulu DAS terhadap berkurangnya sumberdaya kualitas air

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Fenomena Permasalahan Lingkungan Daerah Aliran  Sungai
4.1.1  Erosi dan Sedimentasi

Karakteristik wilayah dalam suatu DAS berbeda-beda, sehingga permasalahan yang dihadapinya pun berbeda pula.  Akan tetapi, permasalahan yang terjadi pada suatu bagian dalam DAS akan memberikan dampak pada bagian daerah lainnya, hal ini merupakan konsekuensi DAS sebagai sebuah sistem yang kompleks.
DAS bagian hulu memiliki karakteristik topografi yang berbukit-bukit dengan kelas lereng yang curam dan didukung oleh jenis tanah andosol dan latosol, di mana jenis tanah ini tergolong pada kelas kesuburan sedang sampai tinggi.  Di samping itu wilayah ini termasuk pada daerah pegunungan dengan suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi, sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahannya menjadi areal pertanian (cocok untuk hortikultura).  Sedangkan pemanfaatan lahan untuk pertanian membutuhkan pengelolaan tanah yang intensif, alhasil lahan di bagian hulu merupakan areal tanaman semusim dengan pengelolaan intensif.
Tanah yang diolah secara intensif dan sedikit upaya konservasi tanahnya (bedengan tegak lurus garis kontur) akan mempermudah penghancuran oleh air hujan, apalagi jenis tanah tersebut adalah tergolong peka terhadap erosi, alhasil ketika hujan turun maka hancuran tanah tersebut akan terbawa oleh air hujan menuju daerah yang lebih rendah atau lebih dikenal terjadi peristiwa erosi.  Selain mengendap pada daerah cekungan, tanah yang tererosi ini akan terbawa masuk ke dalam aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah sedimentasi.  Beban endapan sedimentasi ini terbawa oleh aliran sungai menuju daerah hilir, dan inilah penyebab keruhnya/ air sungai berubah warna menjadi cokelat.
Dampak negatif dari peristiwa erosi dan sedimentasi diterima bukan hanya bagian hilir saja, akan tetapi bagian hulu juga.  Pada bagian hulu, erosi mengakibatkan hilangnya lapisan tanah bagian atas (topsoil) yang tergolong subur, sehingga berdampak pada menurunnya kualitas tanah.  Efek sampingnya adalah petani harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk mengembalikan kesuburan tanah tersebut  dan berpotensi menjadi lahan kritis.  Sementara itu, pada daerah hilir, erosi dan sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan sungai (mengurangi kapasitas sungai atau pun waduk, mendorong terbentuknya delta), menurunnya kualitas air (tingkat kekeruhan, TDS, kadar COD dan BOD, dll) sehingga mengganggu ekosistem sungai/perairan lainnya dan menghambat pemanfaatan air sungai oleh masyarakat.

4.1.2.  Tata Ruang dan Limpasan Permukaan (Banjir)

Kemajuan pesat yang telah dicapai dalam pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ternyata menimbulkan dampak negatif pada kemunduran kemampuan sumber daya alam seperti air, tanah dan hutan. 
Masalah lingkungan hidup yang dihadapi semakin berkembang dan kompleks.  Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang wilayah serta sumberdaya alam, yang pada gilirannya bila tidak dikendalikan secara bijaksana dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam dan mengganggu keseimbangan lingkungan.  Salah satu kebutuhan  akan ruang adalah kebutuhan untuk perumahan sehingga akan mendorong berkembangnya pemukiman berskala besar.
Perubahan pola tata guna lahan dari kehutanan-pertanian-perkebunan menjadi non kehutanan-pertanian-perkebunan di wilayah DAS terjadi sangat pesat, sehingga berdampak pada berkurangnya kawasan resapan air hujan.  Apabila kawasan resapan air berkurang, maka air hujan yang seharusnya melalui beberapa proses  sebelum mencapai permukaan tanah akan langsung menjadi aliran permukaan/limpasan permukaan.  Jika limpasan permukaan ini berkumpul pada suatu wilayah dataran rendah dan bertambah banyak, ditambah dengan air hujan yang jatuh di atas sungai oleh karena kapasitas sungai berkurang akibat erosi dan sedimentasi serta sampah maka akan menyebabkan peristiwa banjir. 
Padahal jika kawasan resapan air (hutan, kebun/lahan bervegetasi) masih tersedia, maka air hujan yang turun tidak semuanya akan langsung jatuh ke permukaan tanah.  Akan tetapi, air hujan tersebut akan ditahan sementara oleh tajuk tanaman dan kemudian diuapkan kembali ke atmosfer (intersepsi), sebagian dari curah hujan yang sampai ke tajuk akan jatuh langsung ke permukaan tanah (troughfall) dan sebagiannya mengalir melalui cabang, ranting dan batang dan akhirnya sampai ke permukaan tanah (stemflow).  Curah hujan yang sampai ke permukaan tanah apabila tanah tersebut tertutupi oleh tanaman (tanah akan menjadi poros akibat perakaran tanaman), maka air tersebut akan masuk ke dalam tanah secara vertikal (infiltrasi), dan jika mencapai lapisan kedap air ia akan menjadi air tanah (ground water) dan sebagiannya akan mengalir (perkolasi) di dalam tanah secara horizontal dan akan muncul sebagai aliran antara (sub surface run off) sebagai debit sungai (Harto, 1986).
Jika dikaji lebih jauh proses-proses tersebut, maka manfaatnya sangat besar terhadap aliran permukaan.  Proses-proses tersebut berfungsi untuk mengurangi besarnya aliran permukaan serta memperlambat waktu (menahan air hujan selama mungkin) sehingga mampu mengurangi bahaya banjir.  Akan tetapi, jika yang ada adalah kawasan terbangun (kedap air), maka air hujan yang sampai ke permukaan tanah tidak bisa diinfiltrasi (walaupun bisa hanya kecil sekali) melainkan akan menjadi limpasan permukaan dan akhirnya akan terkonsentrasi pada badan-badan sungai dan jika kapasitas sungai tersebut kecil yang terjadi adalah meluapnya air sungai.  Apabila kawasan resapan di daerah hulu berkurang, di tengah dan hilir sudah jelas-jelas merupakan kawasan pemukiman yang padat, maka tidak mengherankan jika terjadi banjir.
Berdasarkan hasil penelitian (Qodariah, 2004) menunjukan bahwa pengalihfungsian kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun mampu meningkatkan limpasan permukaan menjadi 500%.  Sementara pengalihfungsian kawasan hutan dan perkebunan menjadi areal pertanian intensif mampu meningkatkan erosi dan sedimentasi menjadi 90%.
Kenyataan di lapangan, kawasan hutan di hulu DAS saat ini sungguh menyedihkan. Selain kuantitasnya yang berkurang, hutan yang masih tersisa pun dalam kondisi yang tidak utuh.  Menurut UU No. 41 tentang Kehutanan disebutkan bahwa suatu DAS minimal harus memiliki kawasan hutan sebesar 30% dari luas DAS secara keseluruhan.  Fungsi hutan di sini adalah sebagai pengatur tata air dan pengendali erosi (fungsi hidroorologis).

4.1. 3   Sosial-Ekonomi-Budaya Masyarakat dan Kelembagaan

Permasalahan lain yang dihadapi dalam pengelolaan DAS adalah aspek sosek dan kelembagaan.  Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting dan fungsi dari sungai, sehingga upaya untuk menjaga kelestarian sungai tersebut sangat kurang.  Hal ini terbukti dari banyaknya masyarakat yang membuang sampah (limbah rumah tangga dan industri) ke saluran sungai, pengerukan pasir dan batu/kerikil dari dalam sungai, pemanfaatan lahan di kanan-kiri sungai untuk upaya pertanian intensif.  Padahal menurut PP No. 32 tahun 1992 disebutkan bahwa kawasan penyangga (50-100 m kanan-kiri sungai, 100 m sekeliling mata air, dua kali kedalaman jurang, 200 m kanan-kiri jalan) harus ditanami pohon (bervegetasi pohon).
Selain itu, kurangnya kesadaran dan salahnya persepsi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT), yang didukung oleh kelembagaan yang menangani kegiatan RLKT belum sepenuhnya berhasil dan bersungguh-sungguh.  Tidak adanya persamaan persepsi antar pengguna kepentingan (stakeholder) terhadap pengelolaan DAS, di mana pengelolaan DAS dilakukan secara parsial oleh masing-masing stakeholder.  Tumpang tindihnya tugas dan wewenang serta saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab atas pengelolaan DAS tersebut. 
Sebagai contoh, peristiwa banjir Jakarta yang sudah menjadi langganan tahunan, satu pihak menyalahkan wilayah hulu (Bogor) yang dianggap telah rusak, telah beralihfungsi tata ruang wilayahnya serta pengelolaannya yang tidak baik.  Di sisi lain wilayah tengah dan hilir DAS Ciliwung ini jauh memberikan kontribusi, di mana terjadi banyak penyimpangan kawasan lindung/resapan air menjadi kawasan pemukiman/terbangun yang tidak mampu menyerapkan air dalam wilayah yang luas. Berubahnya kawasan Puncak pun dipicu dari kontribusi masyarakat di wilayah perkotaan (Jakarta dan sekitarnya). Padahal DAS merupakan wilayah bioregional yang tidak dibatasi oleh administratif.  Sehingga perubahan yang terjadi pada satu tempat akan memberikan dampak pada wilayah yang lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.  Disinilah diperlukan upaya pengelolaan DAS secara menyatu dan menyeluruh.


4.2. Dampak Nilai Ekonomi Terhadap Penurunan Kualitas Air

Pembangunan vila di DAS dapat mengurangi daerah resapan air. Karakteristik wilayah dalam suatu DAS berbeda-beda, sehingga permasalahan yang dihadapinya pun berbeda pula.  Akan tetapi, permasalahan yang terjadi pada suatu bagian dalam DAS akan memberikan dampak pada bagian daerah lainnya, hal ini merupakan konsekuensi DAS sebagai sebuah sistem yang kompleks.
DAS bagian hulu memiliki karakteristik topografi yang berbukit-bukit dengan kelas lereng yang curam dan didukung oleh jenis tanah andosol dan latosol, di mana jenis tanah ini tergolong pada kelas kesuburan sedang sampai tinggi.  Di samping itu wilayah ini termasuk pada daerah pegunungan dengan suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi, sehingga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahannya menjadi areal pertanian (cocok untuk hortikultura).  Sedangkan pemanfaatan lahan untuk pertanian membutuhkan pengelolaan tanah yang intensif, alhasil lahan di bagian hulu merupakan areal tanaman semusim dengan pengelolaan intensif.
Tanah yang diolah secara intensif dan sedikit upaya konservasi tanahnya (bedengan tegak lurus garis kontur) akan mempermudah penghancuran oleh air hujan, apalagi jenis tanah tersebut adalah tergolong peka terhadap erosi, alhasil ketika hujan turun maka hancuran tanah tersebut akan terbawa oleh air hujan menuju daerah yang lebih rendah atau lebih dikenal terjadi peristiwa erosi.  Selain mengendap pada daerah cekungan, tanah yang tererosi ini akan terbawa masuk ke dalam aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah sedimentasi.  Beban endapan sedimentasi ini terbawa oleh aliran sungai menuju daerah hilir, dan inilah penyebab keruhnya/ air sungai berubah warna menjadi cokelat.
Dampak negatif dari peristiwa erosi dan sedimentasi diterima bukan hanya bagian hilir saja, akan tetapi bagian hulu juga.  Pada bagian hulu, erosi mengakibatkan hilangnya lapisan tanah bagian atas (topsoil) yang tergolong subur, sehingga berdampak pada menurunnya kualitas tanah.  Efek sampingnya adalah petani harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk mengembalikan kesuburan tanah tersebut  dan berpotensi menjadi lahan kritis.  Sementara itu, pada daerah hilir, erosi dan sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan sungai (mengurangi kapasitas sungai atau pun waduk, mendorong terbentuknya delta), menurunnya kualitas air (tingkat kekeruhan, TDS, kadar COD dan BOD, dll) sehingga mengganggu ekosistem sungai/perairan lainnya dan menghambat pemanfaatan air sungai oleh masyarakat.
Namun perlu diketahui bahwa penurunan kualitas air tanah juga dikarenakan oleh manusia. Berbagai macam tindakan manusia yang mengakibatkan perubahan kimiawi air tanah dapat berasal dari berbagai sumber kegiatan. Perubahan kimiawi air tanah dapat mengarah kepada penurunan kualitas air tanah, atau pada tingkat yang lebih berat lagi yaitu pencemaran air tanah. Hal ini menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, dan biologi air tanah tersebut. Sumber penurunan kualitas air tanah tidak terbatas jumlah dan macamnya, namun yang diperkirakan merupakan sumber dan penyebab utama dari penurunan ini adalah dampak penggunaan air.
DAS bagian hulu berperan dalam menjaga hidrororologis suatu wilayah.  Pembangunan di wilayah DAS dapat mempengaruhi kualitas air tanah karena mengurangi daerah resapan. Mengingat bahwa air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka diupayakan agar pembangunan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada kehidupan masyarakat, namun diupayakan agar memberikan dampak negatif sekecil-kecilnya terhadap lingkungan, termasuk dampaknya terhadap sumberdaya air. Efek samping dari penurunan kualitas air tanah adalah masyarakat mengeluarkan biaya lebih untuk membeli air bersih kebutuhan sehari-hari. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu membeli air bersih terpaksa menggunakan air yang kualitasnya kurang baik untuk kebutuhan sehari-hari sehingga membahayakan kesehatan.

4.3. Solusi Dampak Pembangunan Vila di Daerah DAS Terhadap Penurunan Kualitas Air

Permasalahan yang terjadi di DAS sangat rumit dan kompleks.  Sehingga diperlukan pemecahan masalah yang integratif dan menyeluruh.  Solusi penyelesaian masalahnya adalah merupakan tujuan akhir dari pengelolaan DAS yang meliputi faktor hidrologi (mencegah banjir dan kekeringan, mengurangi sedimentasi, menjaga kualitas air dan mempertahankan muka air tanah), memperbaiki kondisi lahan (mengurangi erosi, perbaikan tata ruang), sosial-ekonomi (membentuk nilai-nilai dan kesadaran, mewujudkan perilaku konservasionis, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menambah kawasan resapan air, artinya dengan upaya RLKT pada semua bidang (pertanian, kehutanan dan perkebunan, dll).  Upaya RLKT ini maksudnya adalah menerapkan prinsip-prinsip rehabilitasi lahan dan konservasi tanah oleh masyarakat dalam upaya pengelolaan lahannya, bukan hanya pada fisik saja tapi mencakup rehabilitasi fisik, teknis, dan sosek serta kelembagaan.  Prinsip-prinsip tersebut adalah mengurangi sekecil mungkin aliran permukaan dan sebesar mungkin menyerap air hujan ke dalam tanah, mengurangi sekecil mungkin erosi tanah, memanfaatkan semaksimal mungkin SDA yang ada, berupa tanah, air dan vegetasi dengan memperhatikan kelestarian SDA tersebut.
Penerapan sistem Agroforestri untuk memperluas kawasan resapan pada lahan kering dan basah.  Usaha ini juga sebagai penjawab masalah sosial ekonomi masyarakat, dengan memilih jenis-jenis tanaman kayu-kayuan yang serba guna/Multi Purpose Tree Species (MPTS). Hal ini disebabkan oleh alasan dari masyarakat, bahwa kebutuhan ekonomilah yang mendorong terjadinya tekanan atas sumber daya lahan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun sumur serapan.  Pembuatan satu sumur resapan satu rumah sangat efektif untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas air tanah serta mengurangi banjir.  Selain itu, pembangunan sumur resapan tidak mengganggu fungsi bangunan lainnya yang sudah ada serta dapat dikombinasikan dengan taman sehingga menambah nilai estetis suatu bangunan.  Penerapan pembangunan sumur resapan ini perlu dukungan dari pihak pemerintah, yakni dengan menjadikannya sebagai kebijakan atau suatu peraturan setiap ada pembangunan rumah/bangunan baru.  Atau istilah lain harus ada konpensasi hilangnya kawasan resapan menjadi bangunan dalam bentuk sumur resapan.
Penambahan ruang terbuka hijau pada daerah perkotaan seperti taman kota, jalur hijau, hutan kota dan lainnya, serta meninjau kembali tata ruang yang sudah ada, serta penegakan hukum bagi yang melanggar peraturan tentang tata ruang wilayah.
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya fungsi kelestarian sungai dan sumberdaya alamnya merupakan upaya berikutnya.  Penanaman pendidikan lingkungan sejak dini kepada anak-anak dan remaja, melalui pendidikan formal dan informal lainnya serta melibatkan langsung mereka dalam kegiatan pemeliharaan lingkungan sungai (dilibatkan dalam RLKT).
Jadi, perlu adanya upaya pengelolaan DAS dengan prinsip ORPRIM (One river one plan integrated manajemen).  Satu sungai satu rencana pengelolaan terintegrasi.

BAB V
PENUTUP
                                                                                                                        
5.1 Kesimpulan

Pembangunan vila di daerah DAS dapat menurunkan kualitas air karena mengurangi daerah resapan air. Penurunan kualitas air dapat merugikan masyarakat. Masyarakat mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan air. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menambah kawasan resapan air, penambahan ruang terbuka hijau pada daerah perkotaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya fungsi kelestarian sungai dan sumberdaya alamnya.

5.2 Saran

Dalam mengatasi dampak negatif dari pembangunan vila di daerah DAS seharusnya pemerintah dan masyarakat bekerja sama melakukan penanggulangan penurunan kualitas air.
 
DAFTAR PUSTAKA

Appelo, T. 1986. Lecture Note in Hydrochemistry. Yogyakarta:  Gadjah Mada
University Press.
Kantor Menteri KLH. 1990. Kualitas Lingkungan di Indonesia 1990. Jakarta:  
Kantor Menteri KLH.
Kasiro, Ibnu. 1994. Penurunan Kondisi Sumber Air di Indonesia. Yogyakarta: 
Gadjah Mada University Press.
Novran, Doddy. 2009. Dampak Pembangunan  Terhadap Sumbedaya Air.
Qodariah, Laela. 2010. Mengintip di Balik Hujan. http://www.elqodar.multiply.com.
Tersambung berkala (10 Maret 2011)

1 komentar: